Refleksi Transformasi Liberalisasi Pembangunan Ekonomi China
Oleh Soviyan Munawar
NEWSLETTERJABAR.COM-- Liberalisasi ekonomi China dimulai pada 1978 dengan dibukanya investasi asing, privatisasi BUMN, desentralisasi dan liberalisasi pedesaan.
Ternyata kebijakan tersebut berdampak negatif tehadap sektor lapangan pekerjaan pada sektor pertanian, yakni menurunnya lapangan pekerjaan dari 70,5% menurun ke level 36,7%.
Kemudian pada 1980 dibuat kebijakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan melakukan intervensi kebijakan seperti kredit pajak, harga lahan murah, dan perlindungan hak milik bagi investor.
Dengan adanya kebijakan itu berbagai hasil pendapatan dan pajak, juga pertumbuhan mulai meningkat dan menyebar ke kawasan wilayah lainnya.
Selain itu, KEK dapat meningkatkan level Produk Domestik Bruto (PDB). Investasi tumbuh, produksi dan produktivitas naik hingga upah buruh tinggi; serta berdampak juga pada peningkatan kebutuhan tenaga kerja yang tinggi di perkotaan dengan didukung longgarnya regulasi migrasi desa-kota.
Lalu pada 2002 China bergabung ke dalam World Trade Organization (WTO). Mulailah pertumbuhan ekspor meningkat. Namun dalam prespektif regional semakin terjadi ketimpangan antara wilayah pesisir dengan kawasan pedalaman.
Wilayah pesisir sebagai kawasan KEK lebih maju dibandingkan kawasan perdalaman di sektor pertanian, sekitar 50 s.d. 120%.
Untuk mengatasi ketimpangan tersebut, kebijakan pertumbuhan industri di geser ke pedesaan. Hasilnya ketimpangan kedua wilayah menjadi sedikit; rasio PDB perkapita tidak terpaut jauh.
Pada 2006 fase BUMN dibuat menjadi besar dan dikendalikan pemerintah secara kuat sehingga produktivitas semakin tinggi dan tenaga kerja memiliki kompetensi. Pada fase ini mulai surplus dan mulai kekurangan tenaga kerja murah; hanya tersisa sekitar 37% tenaga kerja murah pada sektor pertanian. Hal itu dikarenakan sektor non-pertanian yang dikelola swasta menjadi sektor pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
Sejauh itu China membangun Transformasi struktural ekonomi dengan merancang kebijakan 5 tahunan, yakni meningkatkan industri manufaktur, industri berbasis ICT, bioteknologi dan deregulasi sektor jasa.
Atas upaya-upaya di atas, saat ini China dikenal sebagai negara manufaktur yang besar yang memiliki pengaruh terhadap negara AS, Norwegia, Amerika latin dan Asia.
Dari manufaktur ini berdampak pada sektor lain terutama sektor jasa. Semuanya membutuhkan dukungan sumber energi yang besar.
Dari catatan transformasi pembangunan ekonomi China tersebut, bila dikaitkan dengan potensi Indonesia, yang memiliki potensi pertanian, kemaritiman, pariwisata yang sangat potensial, apakah ada peluang bagi Indonesia ke sektor manufaktur, industri strategis pertahanan keamanan dan transportasi publik?
Lantas, ke mana arah pembangunan ekonomi yang memiliki potensi meningkatkan pertumbuhan tetapi tetap melakukan pemerataan antar wilayah di Indonesia?
Untuk itu penting Indonesia segera fokus pengembangan sumber daya insani ke depan yang tepat agar menjadi negara yang mandiri, berdaulat, dan maju dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur kebangsaan Indonesia sebagaimana terumuskan dalam sila-sila Pancasila. (*)
Komentar
Posting Komentar