Sinopsis Hutbah Munggaran di Pajajaran yang Digelar di Sanggar Sobarnas Garut


 


Oleh Rizal NLJ 

Hutbah Munggaran di Pajajaran adalah sebuah karya yang ditulis tahun 50-an oleh Yus Rusyana, seorang sastrawan asli Garut, tepatnya Pameungpeuk, Garut Selatan.

Karya tersebut sempat menghilang selama kurang-lebih 50 tahun. Baru pada 2015 ditemukan kembali, lalu ditik ulang untuk diperbaiki ejaannya.

Baru-baru ini, cerita yang berupa gabungan sejarah, dongeng, dan babad yang melakonkan Kian Santang sebagai penyebar Islam di Pajajaran tersebut, dipentaskan dalam bentuk teater, di Sanggar Sobarnar Garut, dengan Sutradara Ari Kpin.

*

Dikisahkan, keberadaan Pajajaran sekembalinya Prabu Anom Kian Santang dari mengembara di Tanah Mekkah.

Dalam pengembaraan, Prabu Kian Santang memeluk agama Islam. Dia kembali ke Pajajaran bermaksud mengajak ayahnya serta lainnya memeluk Islam.

Ternyata, upaya mengislamkan Kerajaan Pajajaran harus berbuah sengketa yang menimbulkan perang antar saudara sendiri.

Saat akan memulai perang, kepada pasukannya, Prabu Kian Santang berpesan untuk tidak melakukan pengrusakan dan  membunuh warga sipil. 


Hal itu sesuai dengan ketentuan perang menurut Islam, agama yang diyakini Prabu Kian Santang.

"Tidak boleh ada yang membuat kerusakan karena Gusti Allah sangat membenci manusia yang membuat kerusakan di muka bumi. Jangan membuat kerusakan!" ucap Kian Santang dengan tegas dan lantang.

Disebutkan, tokoh bernama Salahudin, pemimpin pasukan, menyanggupi pesan yang diberikan Kian Santang.

Perang pun pecah. Pasukan Pajajaran yang dipimpin Purnamasari kalah telak dan membuatnya harus mundur. 

Akan tetapi, ternyata bumi Pajajaran terbakar. Hangus, tak menyisakan satupun yang utuh, serta banyak korban.

Mengetahui hal itu, Kian Santang sangat murka. Dia memanggil Shalahudin dan menanyakan, 'apakah dia sudah melakukan apa yang harus dilakukan dan menghindari apa yang sudah dilarang'.

Sholahudin menjawab dengan tegas bahwa dia sudah melakukan sesuai dengan yang diperintahkan.

Pada saat demikian, salah seorang prajurit memberi kabar, ada seorang prajurit yang hilang, namun tidak ditemukan mayatnya. Dia adalah Ki Gori,

Kian Santang langsung memerintahkan untuk mencarinya.

Ki Gori ditemukan dan dihadapkan pada Kian Santang untuk diinterogasi.
Ki Gori mengaku, dialah yang membakar dan membumihanguskan semua yang ada di Pajajaran.


Pada saat demikian, muncul prajurit Kian Santang, yang bernama Djaya Antea.

Saat Ki Gori harus mengakui pihak yang menyuruhnya melakukan pengrusakan tersebut, Jaya Antea mendekati Ki Gori, yang sedang memohon pengampunan, dan  langsung menusuk Ki Gori.

"Maaf Tuan,Saya sudah muak mendengar penjelasan darinya karena telah mengkhianati perintah Tuan!" kata Jaya Antea kepada Kian Santang.

Namun sebelum tumbang, Ki Gori sempat mengatakan bahwa yang menyuruhnya membumihanguskan Pajajaran adalah Jaya Antea sendiri.

Ternyata, Jaya Antea adalah musuh dalam selimut bagi Kian Santang.
Ia berhasil memprovokasi prajurit lain untuk melakukan kerusuhan, membakar kota dan merenggut nyawa tidak berdosa.
Kerusuhan ini menimbulkan kerusakan dan perpecahan.

Jaya Antea yang dendam pada Pajajaran memang sudah merencanakan hal itu.

Upaya busuk Jaya Antea bukan tanpa alasan. Kebohongam serta tipu dayanya adalah untuk mewujudkan ambisi pribadinya, yakni menguasai Pajajaran dan merebut Putri Purnamasari, juga melawan Kian Santang.

Rencananya tersebut ternyata gagal karena harus menghadapi langsung Kian Santang dengan terlalu cepat.

Jaya Antea dengan Ilmu serta kekuatan yang dimilikinya dengan mudah dapat dikalahkan Kian Santang.

Atas keadaan itu Kian Santang murka kepada Jaya Antea. Begitu juga Shalahudin.

Sejauh itu, atas segala kejahatan Djaya Antea, Kian Santang tidak membunuhnya.

Kian Santang cukup memberi kesempatan kepada Jaya Antea untuk mengakui serta menyadarinya. 

Hal itu membuat terkejut semua pasukan, tidak terkecuali para tawanan perang dari Pajajaran.

Kian Santang mengatakan, dia tidak ingin mengakhiri hidup Jaya Antea hanya karena dendam dan hawa nafsu semata.

Dia takut Gusti Allah murka padanya jika Kian Santang membunuh Djaya Antea.

Atas sikap dan ucapan Kian Santang, para tawanan perang kagum dan takjub. Hal itu membuktikan keluhuran budi serta kebesaran jiwa Sang Prabu.

Mereka pun bertanya tentang ajaran yang dianut Sang Prabu, sekaligus meminta kepada Kian Santang agar mereka bisa masuk ke dalam golongan Kian Santang.

Dengan penuh rasa syukur, Kian Santang menuntun mereka untuk mengikuti ucapannya. 

Kian Santang pun mengucapkan kalimat Syahadat serta diikuti oleh rakyat Pajajaran.

Dari sini Kian Santang mengatakan kepada pasukannya bahwa kini mereka sudah memiliki saudara baru. Dilepaslah ikatan para tawanan itu. 

Lalu, Kian Santang menerangkan bahwa islam sesungguhnya agama yang penuh dengan perdamaian.

Pada moment ending ini, Kian Santang memulai Hutbahnya. Dia menerangkan tentang Islam dan beberapa hal  yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan (=yang wajib dan yang dilarang) 

(Adegan ditutup dengan suara kentungan yang disusul oleh lantunan Adzan). ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Koperasi MBSB Buka Kantor Cabang Perwakilan di Pangatikan dan Cibatu

Ahmad Bajuri : Koperasi MBSB Siap Bantu Pemasaran dan Promosi Pelaku UMKM Garut

Relawan SIAP NDan Ucapkan Selamat dan Sukses Atas Ditunjuknya Dandan Maju Calon Walikota Bandung