MEMBACA SEBELUM HARI SENJA
Oleh :
R. HISTATO D. KOBASAH.
Sekretaris PGRI
Kota Sukabumi
R. HISTATO D. KOBASAH.
Sekretaris PGRI
Kota Sukabumi
NEWSLETTERJABAR.COM-- Ungkapan yang mengatakan bahwa ‘buku adalah jendela dunia’ mulai terpinggirkan maknanya. Salah satu maksud ungkapan diatas adalah usaha untuk membujuk agar orang-orang rajin membaca.
Namun, zaman sudah berubah. Seiring waktu, remaja maupun dewasa ingin memperoleh sesuatu secara instan. Semua orang ingin asal jadi tanpa mau bersusah payah apalagi bekerja keras. Kelihatannya peribahasa “bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian” berangsur-angsur mulai terlupakan.
Ya, saat sekarang indikasi remaja jarang sekali membaca buku untuk menyerap ilmu pengetahuan. Hal ini bisa dibuktikan dengan jumlah kunjungan usia sekolah ke perpustakaan sekolah maupun perpustakaan milik Pemerintah. Mayoritas mereka lebih senang berselancar di internet sekaligus bermain media sosial. Akibatnya, konsenterasi remaja jadi teralih sepenuhnya pada media sosial dibandingkan menyerap pengetahuan tersebut.
Kurangnya minat membaca remaja ini nampaknya semakin menurun karena munculnya jejaring sosial facebook, twitter, friendster, myspace, Instagram, Line, Whatsapp dan sebagainya.
Remaja lebih memilih membuka jejaring tersebut dibandingkan membaca buku. Padahal, buku menjadi sarana yang paling penting untuk remaja sebagai generasi muda.
Teknologi informasi yang semakin canggih dapat memberi dampak positif maupun negatif bagi remaja.
Remaja usia sekolah yang tidak bisa mengendalikan arus informasi dapat menyebakan prilaku malas membaca. Lebih parah lagi, bukan hanya malas membaca, tetapi ada juga yang dapat menyebabkan menjadi malas belajar dan menyebabkan prestasi belajar semakin menurun. Inilah yang menjadi kekhawatiran kita sebagai orangtua dan pendidik di sekolah.
Membaca merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan. Tidak hanya remaja saja yang disarankan untuk selalu dapat membaca buku, orang dewasa pun sebaiknya dapat melakukan aktivitas membaca buku atau surat kabar agar pengetahuan dan wawasan kita menjadi luas sehingga dapat membuat atau menghasilkan suatu karya fiksi maupun non fiksi.
Membaca kadang kala mengasyikan dan kadang kala juga membosankan bagi kalangan remaja, pada jaman sekarang banyak remaja yang tidak mau membaca karena menganggap membaca tidak penting dan membosankan.
Jika buku dibiarkan begitu saja, pengetahuan kita menjadi sempit dan sulit mempelajari beberapa fenomena sosial, fenomena alam dan fenomena budaya.
Bagi remaja yang kurang menyukai membaca, mereka akan kesulitan bila sedang membuat sebuah narasi karena sulit mencari kosa kata yang baik dan menarik bagi para pembaca.
Alangkah indah jika sekolah dan masyarakat meningkatkan kepedulian melakukan sesuatu untuk meningkatkan semangat membaca di kalangan remaja khususnya saat usia sekolah. Karena dengan membaca, kita bisa menuntut ilmu dan dapat digunakan untuk kehidupan di masa yang akan datang.
Taufik Ismail pernah mengatakan bahwa rabun membaca lumpuh menulis. Artinya, jika seseorang jarang bahkan tidak pernah membaca maka tidak akan mampu menuangkan isi pikiran kita kedalam sebuah tulisan.
Dengan membaca, kita mampu berkreativitas, berimajinasi dan munculnya penulis andal asal Indonesia. Kebanyakan novel-novel bermutu dan bagus adalah guratan penulis luar negeri, bukan Indonesia. Sungguh kesempatan yang bagus untuk mengharumkan Indonesia.
Mohamad Hatta adalah seorang pembaca ulung. Seorang pemuda dari Padang pada tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia.
Sekolahnya mewajibkan membaca buku sastra menyebabkan beliau ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi.
Soekarno, seorang siswa yang gemar membaca, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka ilmu politik, sosial dan nasionalisme. Insinyur teknik ini melangkah ke samping dan jadi politikus, yang mengantarkan beliau menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Bahkan, sastrawan Rosihan Anwar menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. Jiwanya merasa dahaga kalau tidak membaca buku.
Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup. Latihan menulis 108 karangan membekali Hatta, Sukarno, Muhammad Natsir, Sjahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Yamin, Tan Malaka dan kawan-kawan seangkatan mereka menulis buku di bidang masing-masing. Yamin jadi sastrawan, tapi juga penulis sejarah.
Dengan sedikit pengecualian, kita semua berbekal nol buku ketika bersekolah, tidak mendapat kesempatan untuk ditanamkan rasa ketagihan membaca buku, kecintaan pada buku, keinginan bertanya pada buku dalam semua aspek kehidupan.
Kebiasaan mengunjungi perpustakaan adalah salah satu alternatif solusi sebagai tempat merujuk sumber ilmu, dan konsekuensinya membiasakan menulis sebagai ekspresi perasaan serta penyataan kecendekiaan.
Marilah kita selamatkan generasi muda Indonesia melalui membaca, yaitu generasi yang mampu mengetahui identitas dirinya dan mampu menjaga alam dan isinya sebaik mungkin. Membacalah sebelum hari senja. Ingat, penyesalan selalu datang terlambat. (*)
Komentar
Posting Komentar