Ingat, Sufi itu tidak Identik dengan Kemiskinan, Sufi Identik dengan Ketidak-melekatkan pada tiap Sesuatu
Oleh : H Derajat
Bismillahirrohmanirrohim
Allahumma sholli ala Sayyidina Muhammad wa ala ali Sayyidina Muhammad.
Di malam menjelang *Hari Asysyura*, hari wafatnya Mursyid kita yang mulia *Imam Husein,* hari dimana sebetulnya kita wajib merenung bahwa adu domba antar umat Islam itu bukan hanya terjadi di jaman sekarang tetapi sejak dulu memang sudah ada.
Kala itu perang menjadi jalan penyelesaian tiap perbedaan pendapat di kalangan umat Islam dan tidak memilih jalan permusyawarahan.
Dalam kisah di bawah ini akan aku ceritakan bagaimana lembutnya ajaran Tasawuf dalam membimbing jiwa manusia berbeda dengan jaman sekarang dimana banyak orang mengajarkan kekerasan dengan dalih untuk mencapai surga harus dengan Jihad yang diartikan secara sempit yaitu melalui perang.
Dikisahkan Di Tunisia ada seorang nelayan soleh. Ia tinggal di gubuk yang sederhana yang dibangun dari tanah liat. Hari-harinya digunakan untuk mencari ikan. _Namun ikan yang didapatkannya diserahkan kepada fakir miskin._ Ia hanya menyisakan satu kepala ikan yang menjadi santapannya tiap hari.
Waktu berlalu, ia kemudian berguru kepada sufi kondang *Ibnu Arabi*. Hingga akhirnya si nelayan ini dikenal menjadi seorang sufi besar. Pada suatu saat, ia memanggil muridnya. _“ Tolong kamu pergi ke guru saya Syeikhul Akbar Ibnu Arabi, memohonlah pada beliau agar memberikan nasehat kepadaku. Jiwaku buntu,”_ ujarnya. Maka bergeraklah santri itu menuju ke Andalusia, Spanyol.
Sesampainya di Spanyol, si murid mencari rumah Ibnu Arabi. Betapa terkejutnya ketika sampai depan rumah yang dicari. Apa yang dilihatnya berbeda jauh dengan apa yang ada di benaknya. Ia berfikir rumah Ibnu Arabi sangat sederhana seperti rumah gurunya. Namun yang ada di depan matanya adalah rumah yang mewah. Masuklah ia ke pekarangan rumah Ibnu Arabi. Sepanjang jalan ia melewati ladang yang tertata rapi serta berbagai binatang peliharaan dengan kandangnya yang bersih.
Dalam hatinya bergumam, _”Bagaimana mungkin seorang sufi seperti Ibnu Arabi bergelimangan dengan kemewahan.”_ Kemudian tiba di rumah induk dan masuk ke dalamnya. Ketakjubannya semakin bertambah. Dindingnya dibuat dari marmer dengan hamparan karpet merah yang mahal dilantainya. Pelayannya mengenakan pakaian sutra yang mahal.
Kemudian si murid meminta untuk bertemu dengan Ibnu Arabi kepada salah seorang pelayannya. Pelayan kemudian menjawab bahwa Ibnu Arabi sedang ada kunjungan ke khalifah dan akan segera kembali.
Benar juga, tidak lama kemudian Ibnu Arabi pulang dengan rombongannya. Syeikhul Akbar dikawal oleh pasukan istana bersenjata lengkap. Ibnu Arabi muncul dengan pakaian yang teramat indah dan surban layaknya seorang sultan..
Tak lama kemudian si murid dibawa menghadap kepada Ibnu Arabi. Ia disuguhi makanan yang lezat. Setelah beberapa lama, akhirnya si murid menyampaikan apa yang dititipkan oleh gurunya. Namun betapa terkejutnya ketika mendengar jawaban Ibnu Arabi. *“Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia,”* kata Ibnu Arabi.
Lalu pulanglah ia ke kampungnya. Kemudian bertemulah si murid dengan guru kampungnya itu. Sebenarnya ia ingin bercerita. Tetapi jawaban Ibnu Arabi yang membuatnya ragu. _“Lalu beliau berkata apa,”_ tanya gurunya yang nelayan itu dengan antusias.
_“Apakah ia menitipkan jawaban atas pertanyaanku itu. Nasehat apa pula yang beliau berikan?”_ tanyanya lagi.
Pertanyaan gurunya itu membuatnya bingung. Awalnya, si murid tidak ingin nasihat dari Ibnu Arabi dikemukakan kepada gurunya. Ia berfikir amat tak pantas mengingat betapa mewahnya melihat kehidupan Ibnu Arabi dan betapa fakirnya kehidupan gurunya itu.
Namun karena guru terus mendesak, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dialaminya dan nasehat apa yang diberikan Ibnu Arabi kepada gurunya. Menjadi lebih terkejut ketika ia melihat gurunya tersebut. Nelayan yang menjadi gurunya itu berurai air mata. _“Dia benar. Ia benar-benar tidak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh,”_ katanya.
Pelajaran ini nampak sederhana namun sangat sulit untuk dilakukan bagi para pejalan Tarekat yaitu *tidak melekat pada hal-hal keduniaan*.
Ku akhiri kisah ini dengan sebuah pesan tasawuf dari Ibn Arabi yang sangat penting di antaranya :
عم برحمتك وشفقتك جميع الحيوان والمخلوقين
إذا أنفقت فلا ترد سائلا ولو بكلمة طيبة
وألقه طلق الوجه مسرورا به فانك انما تلقي الله
ان لله حقا علي كل مؤمن في معاملة كل أحد من خلق الله علي الإطلاق من كل صنف
من ملك وجان وانسان وحيوان ونبات ومعدن وجماد ومؤمن وغير مؤمن
افعل الخير ولاتبال فيمن تفعله تكن أنت أهلا له
ولتأت كل صفة محمودة من حيث ماهي مكارم الأخلاق تتحلي بها
لاتكن لعانا ولاسبابا ولاسخابا
_“Sebarkan kasih sayangmu kepada semua binatang (segala yang hidup) dan seluruh ciptaan Allah. Bila kau bersedekah, jangan kau tolak orang yang meminta, meski dengan ucapan yang baik. Nampakkanlah keceriaan dan kegembiraan padanya. Karena engkau akan menemui Allah. Dia berhak atas setiap orang yang percaya kepada-Nya untuk memperlakukan ciptaan Allah, siapapun dan semuanya : malaikat, jin, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, sumberdaya alam, benda-benda, dan orang yang beriman maupun yang tidak beriman. Lakukanlah kebaikan, karena itu sangat baik. Tak peduli terhadap siapapun, kau niscaya menjadi orang baik. Lakukanlah setiap sifat yang terpuji yang merupakan akhlak mulia itu. Indahkan pribadimu dengan itu. Kau akan jadi indah. Janganlah kamu jadi tukang mengutuk, mencaci-maki atau bicara kasar._
Semoga Allah merahmatimu dan memberkahimu wahai saudaraku, karena kasihku pada mu maka ku sampaikan kisah ini.
Wassalam.
Komentar
Posting Komentar